Lelaki Nan Lempang Itu Pergi
Juni 11, 2020![]() |
Oleh: Krisman Purwoko |
Karena tahu proyek ini menyangkut Pilpres yang bakal diadakan untuk kali pertama rakyat memilih langsung presiden, saya mengajukan syarat.
“Saya tetap golput ya Pak. Kalau oke, jalan. Jika tidak, saya tetap akan sering bertemu untuk silaturahmi. Deal?,” saya berkata kalem kepadanya, dengan intonasi yang datar-datar saja.
“Ojo ngono sih Kris,” katanya dengan dialek Surabaya yang kental, sambil menjabat tangan saya. Erat. Kami kemudian tertawa bersama.
Belakangan, baru saya tahu, analisis pemberitaan yang dibuat ini, rutin sepekan sekali diberikan kepada Taufik Kiemas. Sehari menjelang pemungutan suara Pilpres putaran kedua pada tanggal 20 September 2004, ia pulang ke Surabaya, saya diminta jaga gawang.
Pada hari H, pukul 05.30, dua jam menjelang pencoblosan ia menelepon saya yang tengah terkantuk-kantuk.
“Mbak Mega kalah,” ujar suara di seberang.
“Lho, kan pencoblosan saja belum dimulai.” tutur saya kemudian.
“Percoyo aku. Sore nanti saya tiba kembali di Jakarta.” Telepon ditutup. Saya melanjutkan tidur.
Saya terbangun menjelang adzan dhuhur oleh suara Panda Nababan yang mendadak sudah duduk di seberang sofa yang saya tiduri, di depan televisi.
Dia bilang,”Selamat untuk Jenderal Susilo. Kita bertarung lima tahun ke depan.” Panda kemudian ngeloyor ke luar. Saya melongo. “Ngehek.” Saya mengumpat karena tidur saya terganggu.
Seketika saya melongok siaran televisi. Penghitungan suara Pilpres belum juga dimulai. Saya kembali tidur. Dan satu jam kemudian, saya baru benar-benar terjaga ketika mendengar suara televisi yang menyiarkan hitung cepat lembaga survei yang menyebut Megawati kalah.
Saya jadi teringat telepon Peter Rohi selepas subuh tadi bahwa Megawati bakal kalah, padahal pemungutan suara belum dilakukan. Peter bukan dukun politik, ia pasti punya pisau analisa dan hitung-hitungannya. Menarik ini.
***
Pertengahan Januari 1990 Valens Goa Doy sebagai pucuk pimpinan Harian Surya mengutus koleganya sesama wartawan senior sekaligus Redpel Surya Peter A Rohi untuk meliput hukuman gantung Basri Masse di Sabah. Tengah malam menjelang eksekusi, Valens dengan harap-harap cemas menunggu Peter di ruang composing, yang belum mengabarkan prosesi hukum gantung. Sementara judul headline sudah dibuat ‘Basri Masse akan Digantung’.
Beberapa menit kemudian telepon dari Peter berdering. Suara Valens menggelegar. Tapi suara Peter kalem, malah cenderung lembut. Ini karena ia menelepon dengan berupaya menjauh dari kerumunan wartawan Indonesia yang berkumpul meliput (untuk mengamankan eksklusifitas hasil liputan), sementara jam menunjukkan hampir pukul 01.00, saat film sudah siap dikirim ke percetakan, untuk naik cetak. “Valens, hapuskan kata ‘akan’, langsung saja ‘Basri Masse Digantung!’
“Saat hukuman mati dilakukan, jika mendengar Adzan meski cuma lamat-lamat, berarti eksekusi seketika dilakukan. Konsentrasi saya cuma berupaya mendengarkan adzan dari dalam penjara,” tutur Peter sepulang dari liputan.
Dan, benar saja, Surya menjadi satu-satunya koran harian di Indonesia yang menulis bahwa ‘Basri Masse Digantung’, bahkan Kompas – induk koran Surya – masih membuat judul ‘Basri Masse akan Digantung’.
Koran Surya edisi 19 Januari 1990, saat Basri Masse digantung di Penjara Kepayan, Kota Kinabalu, Sabah, menjadi koran yang ditunggu pembaca kendati selesai cetak menjelang subuh. Koran milik grup Pos Kota yang belum genap berusia dua bulan semenjak dikelola oleh manajemen Kompas itu semakin menajamkan persaingan dengan koran penguasa Jawa Timur Jawa Pos.
***
“Besok, saya ingin HL koran kita berjudul... Pilih nara sumbernya. Kita jangan pernah menyajikan berita sampah...” Kalimat ini saban kali diulang-ulang oleh Peter A Rohi saat pagi pukul 06.00 kepada beberapa orang saja, termasuk saya. Itu dulu sekali, tahun 1988-1989.
HL dan feature tulisan kakinya khas, melulu soal komunis dan PKI, padahal koran kami di bawah pengelolaan Kodam Jaya. Hingga beberapa agen, juga pembaca, menyebut koran kami dengan Koran PKI. Koran yang tak pernah abai menuliskan soal komunis.
Mengapa kami berani menuliskan soal komunis, soal PKI saban hari, ini karena kami ‘punya modal’ (lebih tepatnya modal milik Peter) yakni SP (Surat Perintah) 12 Maret, bukan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) yang kondang itu. Saya pernah melihat dokumennya sekali saja. Selain itu, hampir setiap waktu nongkrong di sebuah bengkel mobil di Jalan Tambak bertemu Mayjen Nichlany Soedardjo, petinggi Bakin, ketika itu, selain sekali dua menyambangi Letjen Sarwo Edhie Wibowo di rumahnya di Cijantung (biasanya malam hari di akhir pekan).
Selepas deadline yang diobrolkan soal berita, pagi hari, siang hari, ya soal berita. Jika tidak soal komunis, ya soal nasionalisme. Jenuh juga sih. Tapi tidak buat Peter. Memang, ngobrol seriusnya sih cuma 5-10 menit, selebihnya lebih banyak gojeg kere ditemani kopi panas.
Buat Peter, selain berita panas kopi pun harus panas, harus yang masih ngebul. Tak sampai semenit, secangkir kopi sudah tandas! Entah lidahnya terbuat dari apa. “Kopi itu harus yang masih ada asapnya, baru sedap.”
Bahkan ketika masih menjadi KKO (Katanya suatu ketika,”Saya ini mantan KKO bukan Marinir.”) saat di tengah hutan belantara, bahkan bir kaleng direbusnya dulu baru ditenggak. “Maklum aja Kris, alirannya straight news,” tutur EH Kartanegara, Redaktur Foto, menimpali. Kami kemudian tertawa bersama.
![]() |
Peter A Rohi di tanah kelahirannya |
Kecurigaan saya bahwa ‘agama’ Peter Rohi adalah jurnalistik di kemudian hari terbukti. Ia suatu ketika pernah menugasi Effendy Choirie untuk meliput peristiwa kematian orang Cina, juga hampir bersamaan menugasi seorang rekan yang beragama Kristen untuk meliput pengajian. Penugasan pertama tak masalah, yang jadi masalah adalah penugasan satunya. Pak Peter ditolak. Teman saya ogah meliput. Ia beralasan bahwa agamanya berbeda dengan masalah yang akan diliput.
“Pak Peter tahu gak agama saya.”
“Kamu di kantor ini sebagai apa?”
“Wartawan.”
“Jalan, kerjakan!”
Teman saya tak beranjak dari meja kerjanya. Peter tersulut.
“Mulai hari ini agama Kristen dibubarkan oleh...(Peter menyebut nama teman saya itu)”
Peter kemudian bergegas ke ruang kerjanya di lantai I, dan kembali sudah mengenakan jaket hijau KKO, matanya bukan cuma berkilau seperti biasanya, tapi ini kali menyemburkan sinar menyilaukan. Teman saya dibawa ke ruang kerjanya, pintu dikunci dari dalam.
Saya cuma mendengar potongan kalimat,”sekarang kita selesaikan dengan cara lelaki.” Itu saja. Padahal, teman saya itu tinggi besar ketimbang Peter yang agak pendek. Tak sampai satu menit kemudian, teman saya berlutut di kaki Peter.
Ke luar dari ruangan, Peter sudah menyunggingkan senyum, seolah tak ada persoalan. Persediaan maafnya amat banyak. Banyak sekali.
Hidup Peter memang heroik, termasuk cara ia bersikap. Soal sikap, martabat, dan kemanusiaan, ia selalu hitam putih; tak pernah abu-abu. Kadangkala, dalam beberapa hal, saya menilainya ia terlalu naif. Saya pernah menganggap Peter adalah tokoh fiksi, tapi ia ada di hadapan saya.
Meski menjadi Redpel, ekonomi dia sebenarnya cekak, tapi ia selalu menyisihkan hampir separuh gajinya buat ongkos mendadak anak buahnya. Sementara istri dan anaknya tinggal di perkampungan sempit di tengah kota Surabaya, juga anaknya yang lain tinggal di Pangalengan, rumah kakaknya.
Peter juga yang kemudian mengutus saya tengah malam untuk mengirimkan duit kebutuhan persalinan karena istri teman kami di luar kota yang sedang hamil besar menunggu hari kelahiran anak pertamanya. Sementara kami tengah berseteru di kantor hingga tiga bulan tak bisa ngantor dan tak bergaji lagi.
Saban Jumat malam, jika waktu gajian tiba, kami (bisa berempat atau lima orang) kerap ke sana, Pangalengan. Bukan sekadar menengok anak atau kakak kandungnya yang menjadi guru, di sana Peter ‘mengajari’ kami soal nasionalisme.
Ia pernah menunjukkan tempat Bung Karno menemukan Marhaen, sebuah jalan kampung dengan banyak tanaman dan sebuah pohon besar di pinggir sepetak ladang. Ia bisa betah bercerita panjang lebar di sana.
Suatu ketika, di subuh pagi yang menggigil di Pangalengan, saya dan beberapa teman diajaknya ke tempat reruntuhan pemancar di bawah pepohonan pinus dengan ilalang tinggi, tempat ketika pertama kali Proklamasi dikumandangkan kemudian disiarkan ke seluruh dunia.
Makanya ketika menyodorkan soal semangat membangun Indonesia dan menegakkan kebenaran, matanya menyala-nyala. Itu yang saya rasakan ketika akhirnya ia bersepakat (padahal semula ia kekeuh ogah dengan keras) untuk kembali ke Surabaya, setelah selama beberapa bulan dirayu oleh utusan Kompas Valens Goa Doy dan Max Margono – entah datang ke kantor atau ke restoran di Museum Satria Mandala.
“Ayo Kris kita ledakkan Jawa Timur!” ujar Peter bersemangat. Kelak, berbekal data yang sudah berada di tangan, beberapa kasus korupsi yang melibatkan bupati atau walikota di beberapa kota, langsung bermunculan. Padahal, sebelumnya ia selalu mempertimbangkan tak enak hati jika kembali ke Jawa Timur mesti berhadapan dengan sahabatnya, Dahlan Iskan pemilik imperium Jawa Pos yang sudah mengakar di Jawa Timur.
Maka beberapa gepok gede berkas, bahan bacaan untuk keperluan liputan diberangkatkan ke Surabaya melalui jasa pengiriman kereta, atas budi baik Herlina Si Pending Emas. Herlina, anak emas Bung Karno itu pula yang membooking karcis kereta Mutiara untuk rombongan kami 'berhijrah' menuju Surabaya.
Sebelum kami menyebar di Jawa Timur -- saya ditempatkan di eks Karesidenan Madiun -- ada ‘sekolah kecil’ informal. Kami, rombongan dari Jakarta, oleh Peter Rohi, diajak bermalam ke Mojokerto, ‘markas’ Suwono Blong ‘pejabat’ yang menampung preman, para gedibal, mantan PSK, dan sejenisnya. Kami cuma ngobrol saja dari sejak tengah malam hingga keesokan harinya, tapi banyak ‘sangu’ yang kami kantungi buat modal menjalani profesi ini di Jawa Timur.
***
Akhir Desember 2018 sahabat saya Yoyok, mantan bagian sirkulasi Surya, mengabarkan sedang menjajal ‘Jalan Tol Jokowi’ dari Yogya menuju Surabaya. Ia meminta alamat rumah Peter Rohi. Saya cuma bilang, dari kantor lama Surya di Jalan Basuki Rahmat, jalan kaki cuma 10 menit. Tanya saja orang di sekitar Kampung Malang VIII.
Tiga jam setelah menelepon dari jalan tol, Yoyok menelepon lagi melalui video call. Saya terperanjat, kendati saya tahu Peter Rohi telah terserang stroke. Ia duduk di kursi roda, ditemani Welmintje, istrinya.
“Koen gak kangen ta Kris,” sergah sang istri. Saya tercekat.
“Pa, iku lho Krisman,” kata istrinya, sigarane nyowo Peter Rohi itu, kemudian. Leher saya sakit seketika.
“Kris. Krisman,” kata Peter lirih, sorot matanya masih seperti dulu. Tapi layu. Dan saya kelu. Saya cuma bisa bicara lewat bahasa isyarat; mata yang basah.
Saya lantas mencoba mencari-cari sinar matanya yang dulu menyala ketika menceritakan bahwa ia pernah dikirimi potongan kepala manusia di kantornya koran Suara Indonesia, Malang, saat penembakan misterius (Petrus) dulu. Ke mana gerangan cahaya terang yang bergelora itu.
Januari lalu, kabar duka datang, Welmintje, istri yang merawat, mengantarkan Peter Rohi ke rumah sakit, berpulang mendadak. Dian itu, pelita itu pun semakin meredup. Rabu 10 Juni, pukul 06.45 pagi tadi Peter Rohi menghadap Tuhannya, tidur dalam keabadian, menyusul sang istri.
Sugeng tindak Pak Peter!
0 komentar